*adaptasi dari tugas karya ilmiah sederhana
Ketika Substansi Peradilan Hukum Beralih Menjadi Setir Perpolitikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
"Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."[1]
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Baik dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi maupun bidang sosial masyarakat. Hukum juga berfungsi sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.
Maraknya kasus mafia peradilan hukum akhir – akhir ini,cukup membuat masyarakat resah dan kembali mempertanyakan kemanakah arah kiblat hukum di negara ini. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sekarang ini telah dirasuki mosi tidak percaya akibat kinerja pemerintah sendiri. Substansi peradilan hukum di negara ini tengah dikecap,dijilat dan dirasuki oleh dunia kelembagaan yang bernama politik. Akhir – akhir ini, peradilan hukum telah jatuh kedalam ranah hukum yang hitam kelam. Perpolitikan telah menciptakan ketimpangan yang sangat serius dalam badan Peradilan hukum di negara ini. Perpolitikan ini telah menciptakan deviasi inkonstitusional pada lembaga keadilan ini, perpolitikan ini telah menyetir peradilan hukum di negara ini. Predikat Indonesia sebagai negara hukum sudah diambang kehancuran dan percuma saja kita menyandang predikat tersebut karena sekarang ini yang kita temukan hanyalah kekosongan keadilan atas nama peradilan hukum. Kini,predikat Indonesia negara hukum itu pantasnya dicabut saja karena hukum tak lagi memberikan keadilan pada masyarakat. Hukum telah beralih fungsi sebagai alat kekuasaan oleh beberapa pihak semata.Kini, hukum telah dizolimi oleh narapidana mafia yang hidupnya bak raja. Hukum telah dizinahkan oleh narapidana mafia yang berada dalam penjara pura – pura. Tamparan demi tamparan bagi negara ini sudah tidak berarti lagi ketika substansi peradilan hukum di negara kita dikawinkan dengan kepentingan perpolitikan. Kritikan – kritikan dan teriakan – teriakan oleh rakyat tak lagi berguna ketika substansi peradilan hukum beralih menjadi setir perpolitikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah yang disusun berdasarkan latar belakang.
1.2.1 Bagaimanakah Pengamalan Substansi Hukum di Indonesia?
1.2.2 Bagaimanakah Praktik Peradilan Hukum di Masyarakat Indonesia?
1.2.3 Bagaimanakah Praktik Mafia Peradilan Hukum di Indonesia?
1.2.4 Bagaimanakah Upaya Menegakkan Peradilan Hukum yang Adil di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Berikut adalah tujuan penulisan dari penulisan karya tulis ini.
1.3.1 Mengetahui Perkembangan Pengamalan Substansi Hukum di Indonesia.
1.3.2 Mengetahui Praktik Peradilan Hukum di Masyarakat Indonesia
1.3.3 Mengetahui Praktik Mafia Peradilan Hukum di Indonesia.
1.3.4 Memberi Upaya Upaya Menegakkan Peradilan Hukum yang Adil di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengamalan Substansi Hukum di Indonesia
Secara garis besar hukum di Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok bagian,yaitu hukum perdata, hukum pidana dan hukum acara. Hukum pidana atau hukum publik adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman berupa nestata bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana. Hukum perdata adalah salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil.
Pada dasarnya , kiblat dari supremasi substansi hukum di Indonesia dari pasca kemerdekaan hingga era reformasi berpegang teguh pada Undang – Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Namun, pada praktiknya substansi hukum di Indonesia kerap kali ternodai oleh penyimpangan praktik peradilan.
Pada era pasca kemerdekaan, stabilitas negara sedang mengalami fase gunjang – ganjing pasca merdeka sehingga pengalaman substansi hukum tidak dapat berjalan dengan baik. Demokrasi terpimpin-otoriter dan korupsi era pimpinan Presiden Soekarno pada orde lama merupakan deviasi dari pengamalan substansi hukum sehingga kerap kali menciptakan konfrontasi - konfrontasi dari rakyat.
Memimpin selama 32 tahun, tidak jua menghindarkan presiden Soeharto untuk tidak melakukan penyimpangan dalam pengamalan substansi hukum. Korupsi merajalela, petrus (penembak misterius), dan hak pers yang dibatasi merupakan contoh – contoh penyimpangan substansi hukum yang inkonstituional pada era orde baru. Berbicara tentang hukum yang terzolimi dan tak pelak ternodai , di era reformasi kabinet bersatu jilid II ini juga tidak dapat mengindarkan tindakan kotor ini.
Akhir – akhir ini, kita kerap kali dikejutkan oleh narapadina yang dapat plesir keluar dari penjara atau narapidana yang mempunyai fasilitas bak raja di dalam penjara. Selain itu, kita kerap pula dikejutkan oleh grasi yang diberikan oleh presiden kepada narapidana koruptor . Tidak hanya itu, kita juga kerap kali dipermainkankan oleh tumpang tindihnya pemerintah dalam menangani kasus – kasus hukum di negara kita. Sedikit cuplikan – cuplikan kasus diatas adalah merupakan penyimpangan pengamalan substansi hukum di era reformasi sekarang ini.
Tak pelak , semua penyimpangan pengamalan substansi hukum ini semata – mata karena kepentingan beberapa pihak yang mengatasnamakan politik. Tak pelak, semua penyimpangan pengalaman substansi ranah hukum ini akibat dari perkawinan politik dengan hukum dan menghasilkan peradilan yang tidak lagi adil bagi kalangan rakyat jelata. Maka, berdasarkan pemaparan penyimpangan pengamalan substansi hukum di Indonesia pada setiap era pemerintahan dapat dikatakan pengamalan substansi hukum di Indonesia belum diamalkan dengan sebagaimana mestinya.
2.2 Praktik Peradilan Hukum di Masyarakat Indonesia
Praktik peradilan di ranah hukum Indonesia kerap kali mengalami dan praktik ini kerap kali tidak adil bagi masyarakat awam. Peradilan hukum di Indonesia dapat diibaratkan hanya sebagai baju atau kedok semata – mata dalam menjalankan sistem hukum di negeri ini. Rakyat jelata kerap kali menjalani vonis yang tidak sebanding dengan tindakan yang mereka lakukan. Nenek Minah yang mencuri 3 buah kakao di vonis kurungan penjara selama 1,5 bulan dan masa pencobaan selama 3 bulan. Prita Mulyasari yang melontarkan kritik kekecewaannya terhadap pelayanan Rumah Sakit Omni International di vonis 6 bulan penjara dan membayar denda sebesar 520 Miliar Rupiah. Nenek Minah dan Prita hanyalah segilintir contoh kasus ketidakadilan peradilan hukum yang tereksplose di masyarakat Indonesia. Sedangkan, pejabat kita yang melakukan tindakan korupsi menjalani masa tahanannya dengan akses bebas keluar masuk dan fasilitas penjara bak raja dan ironisnya beberapa dari pejabat yang melakukan korupsi masih dapat menghirup udara bebas. Praktik peradilan hukum ini tidak lagi berdasarkan faktualitas maupun doktrin – doktrin hukum, melainkan secara subjektivitas dan money politic. Praktik peradilan hukum di masyarakat Indonesia tidak lagi adil ketika hukum bisa dibeli dengan politik dan uang.
2.3 Praktik Mafia Peradilan Hukum di Indonesia
Istilah mafia peradilan tengah menjamur dimasyarakat,sebenarnya arti dari kata mafia peradilan adalah segerombolan orang – orang yang melakukan tindakan atau kegiatan yang biasanya terlarang bersama – sama dalam proses penanganan perkara yang semestinya tidak berat sebelah ataupun sewenang - wenang.
Artalita Suryani dan Gayus Tambunan adalah narapidana mafia yang hanya menyandang predikat sebagai narapaidana. Artalita dapat membeli hukum di negeri ini, fasilitas hidupnya di penjara bak raja. Gayus dapat dengan bebas melakukan perjalanan wisata ke Bali, Singapura, Kuala Lumpur dan Makau. Tatkala, Gayus juga mempunyai kesempatan pulang untuk bertemu istrinya. Alangkah lucunya negeri ini, ketika hukum tengah dipermainkan oleh sesosok Gayus Tambunan.
Alangkah lucunya negeri ini, ketika rakyat ikut angkat bicara karena para aparatnya seperti kebakaran jenggot.Dengan terciptanya mafia peradilan di ranah hukum Indonesia, maka ada dua jenis narapidana di penjara negeri kita,yakni narapidana biasa dan narapidana mafia.
“Narapidana biasa, makan nasi jagung,narapidana mafia menjadi tamu agung. Narapidana biasa kerap disiksa, narapidana mafia hidup bak raja. Narapidana biasa diperas keringatnya, narapidana mafia diperas uangnya.Bagi narapidana biasa, penjara tempat menyeramkan. Bagi narapidana mafia, ibarat kamar Indekosan.Penjara, bagi narapidana biasa, ibarat gubuk derita. Lain cerita dengan narapidana mafia, kalau tak Percaya coba tanya Artalita. Untuk narapidana biasa, semua urusan penjara butuh fulus. Untuk narapidana Mafia? Tanya saja kepada Gayus.Itulah penjara pura-pura, yang dikendalikan para mafia, dan beroperasi seperti Negara dalam Negara”[2]
2.4 Upaya Demi Menegakkan Peradilan Hukum yang Adil di Indonesia
Deviasi dari substansi hukum di Indonesia ini sesungguhnya dapat kita tanggulangi melalui upaya yang paling sederhana yakni penanaman dan penumbuhan kembali jiwa nasionalisme pada setiap diri masyarakat. Selain pembenahan jiwa nasionalisme, tegaknya suatu supremasi substansi hukum tidak dapat terlepas dari kejujuran, kebenaran dan keadilan oleh aparat penegak hukumnya. Bobroknya sistem peradilan hukum yang kerap kali dikawinkan dengan kepentingan perpolitikan di negara ini ,tak luput harus mendapatkan perbaikan dan pembaharuan. Lembaga peradilan ini harus segera memperbaiki kekurangan – kekurangan baik secara moral maupun secara sistim di setiap lininya agar peradilan hukum dapat ditegakkan secara adil. Jika perbaikan moral dan sistim kelembagaan hukum di negara ini dapat direalisasikan, para aparat hukum dapat bekerja dengan jujur,adil dan benar serta dapat ditanamkan jiwa nasionalisme pada setiap jiwa bangsa, maka peradilan hukum yang adil pasti dapat ditegakkan kembali di Indonesia. Namun, tidak hanya sekedar teori – teori dan umbar janji untuk menaati hukum, sesungguhnya yang dibutuhkan oleh negara ini adalah tindakan nyata dari komitmen setiap warganya dalam menaati hukum . Jika semua upaya tersebut telah dikerahkan, maka niscaya praktik peradilan hukum yang adil pasti dapat ditegakkan di Indonesia..
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sistem peradilan hukum di negara kita sekarang ini dikawinkan dengan kepentingan perpolitikan. Tak ayal, perkawinan substansi hukum dengan kepentingan perpolitikan menciptakan deviasi dari substansi hukum dan menyebabkan pencitraan yang buruk dalam paradigma masyarakat. Dari pembahasan di atas pula, dapat kita simpulkan bahwa pengalaman substansi hukum di Indonesia masih mengalami penyimpangan di setiap era pemerintahannya, lalu juga dapat kita simpulkan praktik peradilan hukum di masyarakat Indonesia kini sudah tidak adil bagi kita rakyat jelata dan yang terakhir dapat kita simpulkan bahwa praktik mafia peradilan hukum kini memang tengah berlangsung dan hal ini dapat kita lihat dari carut – marutnya kasus mafia peradilan hukum.
Namun, di samping semua kebobrokan sistem hukum di Indonesia kita telah menemukan titik terang untuk menanggulangi deviasi tersebut.Upaya – upaya yang dapat kita lakukan untuk menegakkan peradilan hukum yang adil di Indonesia yaitu antara lain ; aparat hukum yang bertugas dengan jujur, adil dan benar, menanamkan dan menumbuhkan kembali jiwa nasionalisme pada setiap anak bangsa, perbaikan moral dan sistim di setiap lini kelembagaan hukum serta tindakan nyata dari komitmen setiap warganya dalam menaati hukum.Jika saja kita dapat mewujudkan dan menjalankan semua upaya – upaya ini pasti substansi hukum dapat diamalkan dengan benar. Sehingga, semua kebohongan – kebohongan public yang kerap kali dilontarkan oleh perkawinan politik dengan substansi hukum pada akhirnya pasti akan sirna ketika kejujuran datang.
[1] ^ n.b. this translation reads, "it is more proper that law should govern than any one of the citizens: upon the same principle, if it is advantageous to place the supreme power in some particular persons, they should be appointed to be only guardians, and the servants of the laws." (Aristotle, Politics 3.16).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar